·
Kebijakan Departemen Kehutanan sebelum Kabinet Reformasi terhadap
HPH yang telah berakhir masa konsesinya adalah membagi 3 kategori
perlakuan terhadap HPH sebagai berikut :
1.
Kepada HPH yang bagus kinerjanya diberikan perpanjangan
HPH dan dikelola penuh oleh perusahaan swasta pemegang HPH
2.
HPH yang cukup bagus kinerjanya diberikan perpanjangan HPH
kepada perusahaan swasta, namun harus berpatungan dengan BUMN (PT
Inhutani), BUMD dan Koperasi. Sebelum terbentuk perusahaan
patungan, pengelolaan HPH dilakukan BUMN dengan sistem KSO
(Kerjasama Operasional) bersama-sama calon mitra patungan.
3.
HPH yang jelek kinerjanya, dicabut dan dikembalikan kepada
negara. PT Inhutani diberi penugasan untuk melakukan pengamanan
areal, penyusunan proposal, dan permudaan hutan.
·
Jadi pada dasarnya, selaku perusahaan negara, PT Inhutani
ditugaskan untuk mengelola areal HPH yang masuk kategori 2
dan 3 saja. Areal-areal ini baru bersifat penugasan dan
belum menjadi areal definitif PT Inhutani.
·
Sesuai penilaian kinerja yang dilakukan Departemen Kehutanan,
pada umumnya areal-areal yang ditugaskan kepada BUMN (PT
Inhutani), terutama kategori 3, adalah areal yang sudah tidak
potensial, hutan perawan (virgin forest)-nya
sudah sangat berkurang dan sporadis serta areal bekas tebangan (logged
over forest)-nya terpencar-pencar. Karena itu areal-areal
ini perlu dilakukan rehabilitasi total dan dilakukan
penataan-ulang (redesign), sehingga diharapkan
tercipta kembali areal hutan yang potensial.
·
Dalam perjalanannya, banyak areal eks HPH yang kondisinya sudah
tidak potensial dan dipandang cocok untuk pemanfaatan kepentingan
non-kehutanan, sehingga dalam penataan tata-ruang wilayah
propinsi, areal-areal tersebut dikonversi menjadi areal non-budidaya
kehutanan untuk menampung aktivitas perkebunan, pertanian,
transmigrasi, dan lain-lain. Karena itu luas areal eks HPH
banyak yang menjadi berkurang.
UPAYA PENGAMANAN AREAL
·
PT Inhutani memperoleh penugasan untuk melakukan pengamanan
terhadap areal eks HPH. Namun betapapun dana pengamanan dan
tenaga pengamanan mencukupi, tetapi pengamanan secara fisik
semata-mata tidak akan efektif untuk menahan laju perambahan
hutan. Pengamanan hutan secara represif semata,
tidak akan mampu mengatasi perambahan areal.
·
Karena itu PT Inhutani II Unit Kaltim berusaha secara maksimal
memanfaatkan dan mengelola areal eks HPH melalui Bagan Kerja
Tahunan Pengusahaan Hutan (BKTPH). Sebab dengan kegiatan BKTPH
ini, maka areal tersebut tidak lagi terlantar (idle),
melainkan dapat menciptakan aktivitas produksi yang dapat
menghasilkan cash-in buat perusahaan untuk
membiayai aktivitas pembinaan/rehabilitasi areal, pembinaan
masyarakat (PMDH), serta pengamanan areal. Dengan adanya
aktivitas BKTPH, maka pengamanan areal akan menjadi lebih
terjamin dan akan efektif untuk menahan laju perambahan hutan.
PROGRESS REPORT PENGELOLAAN AREAL EKS
HPH YANG DIKELOLA PT INHUTANI II UNIT KALTIM.
·
Unit Usaha PT Inhutani II Kaltim berusaha secara optimal untuk
mengelola areal-areal eks HPH yang ditugaskan kepada PT Inhutani
II, sesuai dengan kondisi obyektif areal.
·
Adapun areal yang saat ini telah operasional, baik melalui
Rencana Karya Tahunan (RKT) maupun Bagan Kerja Tahunan
Pengusahaan Hutan (BKTPH), adalah :
Ä
Eks PT Gruti III
Ä
Eks PT Gruti I
Ä
Eks PT Sumber Mas Timber I
Ä
Eks PT Metro Dhaya Buana
Ä
Eks PT Dana Mula Bhakti
·
Sedangkan areal yang baru keluar ijin Bagan Kerja Tahunan
Pengusahaan Hutan (BKTPH)-nya adalah eks PT Edi Mulya Corporation
dan eks PT Gruti II.
·
Areal eks PT Dana Mula Bhakti sesuai dengan surat Menhutbun nomor
: 40/Menhutbun-IV/1999 tanggal 11 Januari 1999, telah diserahkan
pengelolaannya kepada PT Segara Timber dan Universitas Negeri
Mulawarman dalam rangka land grant college.
·
Areal eks PT Sumber Mas Timber I berdasarkan surat Menhutbun
Nomor: 1291/Menhutbun-VI/99 tanggal 2 September 1999, ditetapkan
dikelola oleh Sumber Mas Timber bekerjasama dengan Koperasi dan
BUMD, tanpa melibatkan lagi unsur BUMN
·
Areal eks PT Gani Mulya Abadi, sebagian besar telah
beralih-fungsi menjadi hutan lindung, sehingga tidak dikelola PT
Inhutani II. Sedangkan areal-areal yang tidak layak untuk
dikelola secara jangka panjang karena telah beralih-fungsi
menjadi pencadangan kebun, HTI maupun yang telah diokupasi oleh
penduduk, seperti eks PT Baltimur Lumber, PT Sumber Mas Timber
II, eks PT Sumber Kayon Raya, dikembalikan pengelolaannya kepada
negara.
RENCANA PENGELOLAAN AREAL EKS HPH.
Pada dasarnya areal-areal eks HPH yang
ditugaskan kepada PT Inhutani II dikelola dengan 2 sistem
pendekatan, yaitu :
Ä
Pola Pra-Patungan, yaitu areal-areal yang masuk kategori 2
Ä
Pola Rehabilitasi, yaitu areal-areal yang masuk kategori 3
1.
Areal Pra-Patungan
·
Areal pra-patungan yang dikelola oleh PT Inhutani II Unit Kaltim,
terdiri atas :
Ø
Eks PT Gruti III (Patungan PT Inhutani II, PT Gruti, Koperasi dan
BUMD)
Ø
Eks PT Sumber Mas Timber I (Patungan PT Inhutani II, Sumber Mas,
Koperasi dan BUMD)
Ø
Eks PT Metro Dhaya Buana (Patungan PT Inhutani II, PT Alambroti
Mosaikindo, Koperasi dan BUMD)
·
Areal-areal ini dalam proses pembentukan perusahaan patungan dan
telah diusulkan pengelolaannya berdasarkan Studi Kelayakan (FS)
yang telah disusun. Namun demikian, mencermati perkembangan
paradigma baru pembangunan kehutanan, maka perlu dilakukan
penataan ulang areal (redesign), khususnya areal
yang sebagian besar hanya berupa areal bekas tebangan (logged
over forest), areal yang mengalami kebakaran hutan dan
okupasi penduduk (terutama pada saat eks HPH tersebut masih dalam
kondisi vakum)
2.
Areal Rehabilitasi
·
Areal rehabilitasi diupayakan dapat terus dikelola melalui pola
Bagan Kerja Tahunan Pengusahaan Hutan (BKTPH) dengan memanfaatkan
sisa virgin forest dan areal bekas tebangan (LOA)
yang masih berpotensi.
·
Areal-areal tersebut diantaranya adalah :
Ø
Eks PT Gruti I
Ø
Eks PT Gruti II
Ø
Eks PT Edi Mulya Corporation
ISU MONOPOLI PENGUASAAN AREAL HPH.
·
Isu monopoli dan penguasaan areal oleh PT Inhutani pada dasarnya kurang
proporsional, karena areal-areal eks HPH tersebut sifatnya
masih penugasan dan belum merupakan areal definitif
PT Inhutani. PT Inhutani juga tidak memiliki otoritas penuh untuk
langsung merehabilitasi, karena harus melalui mekanisme proses
pengajuan Bagan Kerja Tahunan Pengusahaan Hutan yang cukup
panjang prosedurnya.
·
Dalam pola pengelolaannya pun, apabila telah terbentuk perusahaan
patungan, Inhutani tidak mengelola sendiri, karena sangat
dimungkinkan adanya kerjasama pemilikan saham antara BUMN (PT
Inhutani), perusahaan swasta kehutanan, Koperasi
berbadan hukum, dan BUMD (Perusda, misalnya).
Jadi tidak benar, PT Inhutani memonopoli pemilikan saham, karena
bagian saham PT Inhutani hanya kecil saja, dan itu berarti bahwa
pengelolaan eks HPH patungan tersebut sangat memperhatikan aspek
rasa keadilan masyarakat seperti tuntutan reformasi atau sejalan
dengan tuntutan paradigma baru pembangunan kehutanan.
·
Areal definitif yang dikelola PT Inhutani sendiri umumnya
terbatas dan kondisinya remote, seperti contoh
konkrit, misalnya : PT Inhutani II Unit Kaltim hanya mengelola areal-areal
definitif sebagai berikut :
Ä
Malinau : Luas 48.300 ha (luas efektif hanya ± 30.000
ha), dikelola secara swakelola penuh, arealnya
sudah mulai sulit karena memasuki topografi tinggi. Dalam PP
Nomor 6 Tahun 1999 masuk kategori HPH skala kecil saja.
Ä
Eks PT General Wood : Luas 90.000 ha (luas efektif ±
30%). Areal sangat terjal, potensi sporadis, sudah 4 tahun
membangun jalan secara swakelola, dan belum berproduksi, sebagian
besar berupa hutan lindung.
Ä
Eks PT Tanah Grogot : Luas 60.000 ha (luas efektif ±15.000
ha), areal ini dikelola dengan sistem HTI Swakelola, sebagian
besar terkena eksploitasi batubara, sehingga tidak lagi memiliki virgin
forest. Areal ini tidak layak lagi dikelola
sebagai areal HPH.
Ä
Eks PT Inne Dong Hwa dsk : Luas areal 100.000 ha (luas
efektif ±25.000 ha), areal ini baru saja diserahkan untuk
dikelola PT Inhutani II dengan sistem TPTJ (Tebang Pilih Tanam
Jalur), areal sudah tidak potensial dan di dalamnya terdapat
pencadangan kebun dan HTI, sehingga lebih banyak harus dilakukan
penataan ulang dan rehabilitasi.
·
Jadi praktis, hanya areal Malinau yang betul-betul dapat menjadi profit-center
(pusat laba) perusahaan, sedangkan areal lain masih dalam
tahap investasi dan pembenahan, karena semuanya berupa areal eks
HPH yang kondisinya sudah inferior (marginal).
Inilah kondisi obyektif areal-areal definitif yang betul-betul
dikelola oleh PT Inhutani II. Apakah tepat jika dikatakan, bahwa
PT Inhutani II menguasai areal HPH sedemikian besar ?
ISU INHUTANI SEBAGAI PEMUNGUT FEE (RENT
SEEKER).
·
Isu bahwa PT Inhutani hanya sebagai pemungut fee
semata dalam pengelolaan eks HPH tidak sepenuhnya benar.
Diakui bahwa PT Inhutani II memang tidak mengumbar investasi
alat-alat berat baru dalam mengelola areal eks HPH, karena
perusahaan berkonsentrasi penuh pada investasi alat berat
untuk menunjang aktivitas pengelolaan HPH definitif yang dikelola
secara swakelola penuh, sedangkan areal-areal eks HPH
pengelolaannya belum jelas (belum definitif) dan pada umumnya
bersifat tidak layak kelola untuk jangka panjang, sehingga sangat
riskan bagi PT Inhutani II apabila harus melakukan investasi alat
berat baru.
·
Karena itu untuk mengelola areal eks HPH yang telah memperoleh
ijin RKT maupun BKTPH, PT Inhutani II mengembangkan pola
kemitraan, menjalin kerjasama dengan mitra patungan swasta
melalui pola kerjasama yang saling menguntungkan. Pola
kerjasama dilakukan dengan membagi tugas antara mitra swasta
dengan PT Inhutani II, misalnya : mitra swasta yang memiliki alat
berat bertanggungjawab terhadap aktivitas eksploitasi, sementara
PT Inhutani II bertanggungjawab dalam aktivitas pembinaan hutan,
pembinaan sosial, dan tata usaha kayu.
·
Kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan (reciprocal-relationship)
semacam ini sudah sangat lazim dan merupakan cara terbaik agar
areal-areal eks HPH tidak vakum, sehingga kurang berpotensi
menjadi ajang perambahan penebang liar.
ISU KONTRIBUSI TERHADAP PEMBANGUNAN
DAERAH.
·
Sepanjang areal-areal eks HPH tidak idle dan dapat
dikelola melalui RKT ataupun BKTPH, maka seperti halnya HPH-HPH
yang lain, tentu aktivitas pengelolaan areal eks HPH memberikan
kontribusi terhadap pembangunan daerah seperti : penyetoran
DR-PSDH, PBB, PPN, PPh, mendorong kemajuan desa melalui PMDH/HPH
Bina Desa, penyerapan tenaga kerja, pasokan kayu untuk industri,
dan lain-lain. Persoalan kontribusi DR-PSDH yang hanya kecil
untuk porsi daerah, itu memang merupakan ketentuan produk Orba
yang telah terkoreksi dengan adanya perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah, sesuai UU No. 25 Tahun 1999.
·
Mitra kerjasama PT Inhutani II pun bukan pelaku bisnis yang
didatangkan dari luar (pusat), melainkan pelaku bisnis yang
telah ada di daerah, sehingga merupakan bagian dari roda
penggerak sektor riil perekonomian daerah. Terlebih lagi, apabila
telah terbentuk patungan, perusahaan daerah seperti BUMD
(Perusda) atau koperasi berbadan hukum pun, berhak untuk
berperanserta dalam kepemilikan saham. Dengan demikian bagian
saham BUMN (PT Inhutani II) hanya kecil saja, karena bagian
terbesar tetap dikuasai pengusaha swasta, BUMD dan Koperasi.
KENDALA PT INHUTANI II
·
Diakui bahwa untuk mengelola areal-areal eks HPH yang
pengelolaannya belum definitif dan pada umumnya kondisi potensi
arealnya sangat inferior (kurang potensial), PT Inhutani II
mengalami kendala SDM dan investasi alat berat. Hal ini
disebabkan PT Inhutani II ragu untuk ekspansi secara
besar-besaran dalam investasi SDM dan alat berat, karena terlalu
spekulatif, sementara areal-areal yang dikelola tidak
prospektif untuk jangka panjang. Karena itu ditempuh pola
kemitraan dengan pelaku bisnis swasta dalam kerangka kerjasama
yang saling menguntungkan.
·
Dalam rangka membantu rehabilitasi areal, semestinya PT Inhutani
II memperoleh dukungan DR untuk penyusunan proposal dan
pengamanan areal, serta permudaan hutan, namun sejauh ini
pencairan DR sulit dan lamban. Karena itu pada umumnya
areal-areal eks HPH yang dikelola PT Inhutani II berjalan tanpa
dukungan DR. Pengelolaan areal diupayakan melalui Bagan Kerja
Tahunan Pengusahaan Hutan (BKTPH), sehingga dapat memperoleh dana
secara self-financing untuk membiayai aktivitas
perencanaan, produksi, pembinaan hutan/ rehabilitasi, serta
pembinaan sosial, termasuk di dalamnya pengamanan areal.
·
Pemilik lama areal-areal eks HPH yang dikelola BUMN pada umumnya
tidak menyerahkan data-data dan dokumen pengelolaan sebelumnya,
sehingga PT Inhutani II harus menyiapkan data perencanaan mulai
dari nol lagi. Karena itu untuk mengajukan BKTPH, membutuhkan
waktu yang cukup lama, karena PT Inhutani II harus mendeliniasi
areal secara cermat, mengadakan citra landsat terbaru, melakukan
survai cruising untuk seluruh areal, menyusun proposal
pengelolaan, dan lain-lain persyaratan.
IMBAUAN
·
Pada era reformasi dan menghadapi paradigma pembangunan kehutanan
yang baru, semua pihak hendaknya mampu menahan diri untuk tidak
saling hujat-menghujat semata, melainkan harus saling
membuka diri dan bahu-membahu. Semua pihak harus bersedia untuk
melakukan pembenahan diri, termasuk PT Inhutani II selaku BUMN.
·
Para pelaku bisnis, apapun bentuknya, BUMN, BUMD, Swasta
(Nasional, Daerah), Koperasi, hendaknya berbenah diri
untuk menjadi entitas bisnis yang sehat dan menguntungkan.
Disamping itu diimbau untuk melakukan kerjasama yang mutualistis
(reciprocal-relationship) dalam pengelolaan hutan
lestari. Terlebih lagi menyambut era desentralisasi dan
otonomisasi daerah, setiap pelaku bisnis harus siap membantu
pengembangan daerah, di mana pun ia berada.
·
Pengelolaan hutan hendaknya tetap bertumpu pada pengelolaan yang
lestari dan berjangka panjang, sehingga perlu dilakukan penataan
areal (replanning dan redesign) yang
menjamin kelestarian produksi dan ekologi.
·
Areal-areal eks HPH yang sudah tidak produktif dan tidak lagi
memiliki potensi virgin forest atau logged
over forest yang memadai, harus dilakukan rehabilitasi
total.
·
Karena untuk rehabilitasi areal eks HPH memerlukan dana yang
sangat besar, perlu dukungan Dana Reboisasi (DR) dalam jumlah
yang memadai. Agar pengelolaan dana tersebut dapat ditangani
secara jelas dengan akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang
transparan, maka dapat dibentuk badan usaha yang khusus menangani
rehabilitasi areal eks HPH, sehingga program rehabilitasi areal
eks HPH dapat betul-betul terkelola dengan secara profesional.
·
Areal-areal eks HPH pra-patungan terus dikembangkan menjadi areal
HPH Patungan definitif, sehinggga dapat menampung kerjasama
mutualistis antara BUMN, perusahaan swasta, BUMD dan Koperasi.
·
Areal-areal eks HPH yang selama ini dikelola dengan BKTPH, terus
dilakukan pembenahan dan penataan-ulang dengan mengembangkan
silvikultur yang memungkinkan, pola hutan serbaguna, hutan
kemasyarakatan atau pola-pola lain yang tetap memberi akses
masyarakat sekitar hutan tetap berperanserta di dalamnya.
Kepala Unit PT
Inhutani II Kaltim
TJIPTA PURWITA