EUFORIA REFORMASI DI BIDANG KEHUTANAN

 

Kembali ke awal

  

Tahun 1996, pemerintahan Soekarno tumbang dan digantikan rezim Soeharto. Saat itu perekonomian negara terpuruk. Negara dilanda krisis ekonomi dan politik.

Agar keluar dari krisis, sumberdaya alam hutan dibuka secara besar-besaran. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) diciptakan. Demikian pula Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) ditelorkan.

Karena yang dihadapi adalah situasi krisis dan euforia tumbangnya rezim Orde Lama, maka instrumen regulasi yang diciptakan di bidang kehutanan penuh diliputi suasana “ketergesaan. Mantan Menteri Kehutanan, DR Soedjarwo sendiri mengakui bahwa instrumen regulasi di bidang pengelolaan dan pengusahaan hutan itu bersifat “jungkir-balik”. Yang dipentingkan adalah negara cepat keluar dari krisis, meskipun sumberdaya alam hutan pada akhirnya dikorbankan.

Dari pengalaman empiris pergeseran dari rezim Orla ke Orba tersebut, marilah kita belajar dari sejarah. Euforia tumbangnya Orde Baru, jangan lagi membuat sumberdaya hutan menjadi korban. Reformasi harus dilakukan, namun hendaknya tetap diletakkan dalam kerangka pembangunan hutan lestari, dilakukan secara sistematis, bertahap dan tidak menimbulkan distorsi yang berlebihan.

Forest for People

Kredo : Forest for People (Hutan untuk Rakyat), bukanlah kredo baru. Tema pokok Konggres Kehutanan Sedunia (World Forestry Congress) di Bali pada tahun 1978, adalah konsep Forest for People. Jadi pandangan ini telah lama mengilhami para forester sejagad.

Kini kredo Forest for People, dikumandangkan lebih nyaring lagi. Program penataan (redesign) HPH, pemberian kesempatan kepada usaha kecil dan menengah/koperasi, konsep hutan rakyat, pemberian akses kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pemungutan hasil hutan, pelibatan pondok pesantren dan perguruan tinggi dalam pengelolaan hutan, itu semua pada dasarnya adalah perwujudan pendekatan Forest for People. Intinya adalah bagaimana mewujudkan sumberdaya hutan yang dapat menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.

Yang terpenting di era reformasi ini, jangan sampai Forest for People  di konotasikan secara membabi buta, sehingga menimbulkan ekses berupa penguasaan lahan hutan secara tak semena-mena dan melahirkan “penjarahan“ hutan dalam pengertian yang luas. Atas nama rakyat, sah-sah saja orang melakukan pembabatan hutan demi kesejahteraan rakyat, ini sangat berbahaya. Harus ada aturan main yang jelas, sehingga hutan sebagai sumberdaya alam strategis tidak diobok–obokdan terancam kelestariannya.

Ide Desentralisasi

Sistem sentralistis, terbukti telah melahirkan kesenjangan antara Pusat dan Daerah, termasuk dalam pengelolaan hutan. Dengan lahirnya UU Nomor  22 Tahun 1999, benang merah desentralisasi telah terbentang. Konsekuensinya, harus dilakukan restrukturisasi institusi di daerah, penyiapan SDM yang mantap, pendirian badan usaha daerah yang sehat dan profitable , pembangunan sistem informasi yang moderen, dan lain-lain.

Di bidang kehutanan misalnya, bagian terbesar rente ekonomi kegiatan pengusahaan hutan harus dapat dinikmati oleh daerah. Demikian pula dana-dana yang dihasilkan dari hutan, harus dapat mensejahterakan masyarakat di daerahyang bersangkutan. Konsekuensinya, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan usaha swasta serta pelaku ekonomi lain di daerah yang profesional di bidang kehutanan, harus disiapkan. Pola-pola kemitraan antar pelaku ekonomi atas dasar prinsip-prinsip bisnis yang saling menguntungkan, harus dibangun.

Ide desentralisasi jangan disambut sebagai euforia kemenangan daerah, melainkan justru sebaliknya harus diartikan sebagai “tanggung jawab“ yang lebih besar dan berat dari daerah untuk mengelola sebuah potensi dan sumberdaya alam daerah. Pada saat kewenangan itu diterima, maka pada saat itu pula tanggungjawab dan tanggunggugat  melekat padanya, sehingga desentralisasi dan otonomisasi bukanlah wind-fall yang gratis, melainkan merupakan sesuatu yang harus dibayar mahal.

Pemberian kewenangan daerah untuk mengatur pencadangan HPH skala kecil misalnya, harus diletakkan dalam kerangka pengelolaan hutan secara lestari, sehingga pendekatannya tetap mengacu pada pola KPHP (Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi). Karena itu sangat riskan apabila terdapat areal eks HPH yang dibagi-bagi menjadi HPH skala kecil dengan maksud redistribusi aset, namun mengabaikan aspek kelestarian areal jangka panjang.

Horizon Waktu yang Terbatas

Agenda reformasi bidang kehutanan begitu luas dan mendasar. Dengan menargetkan UU Pokok Kehutanan yang baru dapat segera disahkan DPR, maka fundamen pembangunan kehutanan segera dicanangkan. Persoalannya adalah, bahwa Kabinet Reformasi memiliki horozon waktu (time horizone) yang terbatas, sehingga terkesan bahwa agenda reformasi yang tercermin pada berbagai produk perundang-undangan yang begitu banyak, ingin dituntaskan dalam tempo yang secepatnya. Hal ini apakah tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama di jaman Orde Baru?

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999, misalnya. Peraturan ini begitu fundamental dan mengandung paradigma baru yang padat, namun contohnya masih mengacu pada UUPK 1967 yang belum direformasi. Sementara UUPK yang baru sarat dengan koreksi terhadap paradigma lama, masih dalam pembahasan di parlemen. Dengan demikian terkesan adanya kebijakan yang “jungkar-balik“. Karena itu agar tidak menimbulkan distorsi, pemerintah kabinet reformasi perlu segera menetapkan grand-stategis yang makro dan berjangka panjang, sehingga memiliki fleksibilitas yang tinggi. Selanjutnya strategi fungsionalnya cukup dibangun melalui produk-produk hukum operasional yang lebih rendah tingkatnya.

Saat ini yang justru sangat mendesak, adalah membangun pemerintahan yang legitimate, bersih dan berwibawa, serta menyiapkan dunia usaha bidang kehutanan yang tangguh. Perlu dibangun iklim usaha yang kondusif, sehingga perlu dijaga terciptanya konsistensi dalam berbagai regulasi yang digulirkan.

Reformasi bidang kehutanan harus tetap bergulir secara progresif, namun tetap terencana, bertahap, sistematis, mengandung visi masa depan, serta tidak menimbulkan distorsi atau kemandekan pada berbagai sendi kehidupan. Karena itu diimbau, para rimbawan yang terhimpun dalam  organisasi profesi rimbawan (PERSAKI, IKA-SKMA, himpunan lain), saling bahu-membahu dan bersedia membuka diri untuk bertukar-pikiran mengamankan reformasi, agar tidak terjerumus menjadi euforia semata.

 

Samarinda, 9 September 1999

Kembali ke awal